Tulisan terakhirku tentangmu, Tuan.
Entah kenapa sore itu aku sedang bahagia-bahagianya. Mungkin
karena banyak main sama temen-temen, mungkin juga karena aku benar benar sudah
pandai menepis mu dari pikiranku. Alhamdulillah. Tapi saat aku kembali dikosan,
dikamar ini tiba-tiba aku merindukanmu, sedikit. Temanku bilang itu wajar
karena dia juga pernah mengalaminya. Rindu itu memancingku untuk melihat
sepintas chat room kita di path. Terakhir, aku tidak membalas pesanmu dan itu
sudah sebulan yang lalu. Keberadaanmu di sosial media sudah ku remove. Juga
beberapa surat darimu sudah ku bakar habis, hanya menyisakan abu. Aku sudah
yakin 85% untuk menghapus segala sesuatu yang mengingatkanku padamu, menghapus
hadirmu jauh dari alam bawah sadarku dan inilah usaha terbaik ku. Kemudian aku
tersentak seperti ada yang mengganjal kerongkonganku, nafasku sesak bahkan aku
tak bisa berkedip membacanya. Ternyata sore itu juga kau mengirim pesan
untukku, kebetulan? Ah iya. ku rasa hanya sebuah kebetulan saja.
Kamu yang sejauh ini sudah melupakanku, mencari penggantiku hanya
dengan hitungan hari, bahkan kau bilang dia yang terbaik. Kau kecilkan hatiku
saat aku berusaha keras membesarkan hati ini untuk berlapang dada. Apa kau tau
rasanya jadi aku? Perempuan yang tetap bertahan sebanyak apapun yang datang
bahkan aku tetap memilihmu. Karena ku benci sebuah penghianatan dan kepada
diriku sendiri aku bersumpah untuk setia pada orang yang ku sayang, dan itu
kamu. Tapi kau abaikan kesetiaanku, kemudian amarahku menguap membaca pesanmu.
Ku abaikan kau? Tentu. Namun, lagi-lagi kau mengucapkan salam via whatsapp
tengah malam? Untuk apa? Mungkin kau tau disanalah aku ‘hidup’ dan kau masih
ingat kebiasaan-kebiasaanku bercuit menceritakan hariku.
Malam itu aku belum tidur, tapi sengaja aku tak membacanya.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin di telingamu bahwa “Aku ini
perempuan! Aku punya hati!” Sudah berapa banyak air mataku terbuang hanya untuk
menangisi orang sepertimu. Pernahkah kau merasakan sakit sedalam yang ku rasa? Berusaha
melawan emosiku sendiri dan mengalah oleh keadaan. Sedikitpun kau tak pernah
merasa. Jika kau merasa, sungguh aku sangat berterima kasih. Dengan begitu kau
pasti sadar untuk tidak menghubungiku kembali.
Baiklah, ku akui kau memang juara dalam mendekatiku, kau beda.
Tapi kau juga laki laki yang paling juara menyakitiku. Sekarang, sekali lagi
kau hadir kembali. Aku tau dan masih mengingat detail setiap mimpi-mimpimu di
masa depan. Beberapa kali kau pernah menceritakannya kepadaku. Sampai aku
terbuai dan melayang di mimpimu itu tapi tolonglah aku juga punya mimpi besar untuk
masa depanku. Tak perlu kau berikrar, bagiku seseorang yang pernah pergi
kemudian kembali tak akan pernah sama lagi. Jika kau ingin meminta maaf, mudah
bagiku. Sudah ku maafkan jauh sebelum kau memintanya.
Semoga akan ada sosok yang mampu mencintaimu sebanyak aku dan
sesabar caraku. Juga semoga ini menjadi tulisan terakhirku tentangmu.
Bandung, 13 Agustus 2015
Comments