Sebuah Pertemuan

Penghujung Oktober 31, 2015 ada sebuah pertemuan yang mengakhiri tanda tanya. Tak ada lagi debar jantung yang biasanya memacu lebih cepat saat mendengar ataupun membaca namanya. Tak ada lagi kegembiraan yang berlebihan saat bertemu dengannya. Semua terasa biasa-biasa saja.
“Kamu lagi dirumah?”
“Iya”
“Liburan?”
“Engga, pengen pulang aja”
“Uang kamu habis ya?”
“Engga kok”
“Di rumah ngapain?”
“Main”
“Sama siapa”
“Fatih”
“Sama aku engga?”
“Engga”
“Nanti sore main yuuk”
“Kemana?”
“Jangan nanya kemana,
mau apa enggaa,
jawab dulu,
bisa apa engga” (beberapa chat langsung masuk)
“Bisa, kemana?”
“Rawamanyuuun” (Nama daerah di Jakarta Timur yang aslinya Rawamangun, kemudian dia plesetin)

Kami bertemu tapi bukan lagi membahas masa lalu.

Jam 4 lebih beberapa menit kami bertemu. Seperti biasanya ku lihat dia bersama motornya, sedikit ada yang beda dengan cbnya. Di jalan aku menanyakan kepadanya “ini motor yang kemarin kecelakaan?” tanyaku. “Iya, sebenernya ini masih diperbaiki, tempat olinya masih bocor tapi tadi udah aku pake ke kampus” jawabnya. “Oh tadi kamu kuliah?” jawabku singkat. “Kuliah lah, masa engga”. Kemudian aku hanya menganggukan kepala.
Selama perjalanan aku diam saja, tak banyak bicara dan selama perjalanan pula berkali-kali aku kontak mata dengan orang lain. Aku yakin mereka heran dengan cb nya, dan mungkin juga heran karna yang dibonceng menggunakan rok dengan jilbab dan sweater yang berwarna pink soft (terlalu feminim) sepertinya. Aku memang menggunakan rok tapi menggunakan legging agar kaki ku tetap tertutup.
Suara CB-nya yang “khas” membuat banyak mata melirik ke arah kami berdua. Kami berhenti di pom bensin dekat BKT. Sebelum aku turun, tiba-tiba….
“Kamu ambilin uang ya” sambil merogoh dompetnya.
(Aku bengong)
“Ini atmnya” Dia memberikan atm BRI nya kepadaku.
“hah?” jawabku bingung.
Sebelum sempat menanyakan pin atmnya, dia sudah menyebutkan dan aku hanya membalas “Oh iya”. Segera aku turun dari motornya dengan masih bingung. Dia terlalu percaya denganku, bahkan aku bisa melihat nominal uang yang ada di atmnya. Entah apa maksudnya... Setelah menarik sejumlah uang, aku kembali menyusulnya yang sedang menunggu antrian isi bensin. Aku memberikan uang juga atm kepadanya, kemudian dia menyuruhku memegangnya kembali. Aku masih bingung tapi kembali aku masukan uang dan atmnya ke saku sweater ku. Kami melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan ku lihat jalan semakin padat, jelas karna ada lampu merah. Lampu merah duren sawit menurutku adalah lampu merah yang lumayan lama dan cukup membuatku bosan. Motor kami berhenti, ku lihat 106 detik harus menunggu. Selama menunggu aku diam, aku bukan termasuk orang yang pandai basa basi. Kalau dia tidak memulai pembicaraan aku tak akan memulainya. Di motor dia pun diam saja. Sesekali dia masih dengan keusilan yang sama. Setiap kali menunggu lampu merah, kepalanya suka di benturkan ke arah belakang, membuat helm kami saling berbenturan. Biasanya aku membalas dengan lebih kuat ke arahnya seakan tak mau kalah, tapi ku rasa sekarang sudah tak bisa bercanda seperti itu lagi. “Ih udahhh” sambil tangan ku mendorong helmnya.
Kembali kami melanjutkan perjalanan. Disebuah jalan raya tidak jauh dari pom bensin dia memecah keheningan di sore hari.  “Disini nih aku kecelakaan, taksinya lagi muter terus aku dari arah sana” dia bercerita dengan semangat dan sesekali tangannya ikut menjelaskan. “ko taksi lagi muter bisa ketabrak? Kamu ngantuk ya” sambil tersenyum aku menyudutkannya. “Ngantuk, ngantuk apanyaaaa” dia membalasnya dengan tertawa.
Dari duren sawit kami memotong jalan arah buaran menuju jalan dermaga melewati belakang sekolahku dulu ketika SMA. Aku merasakan kenangan masa-masa sekolah, ada bayang-bayang yang samar mencoba bangkit dari pikiranku. Saat sedang asik melamun, aku tersadar dia sedang mengubah posisi spion kanan ke arahku. Dia memang suka begitu, melihatku lewat spion. Saat ku tahu, dia tersenyum dan aku melihat langsung di spionnya. Seperti biasa aku membuang muka ke kiri mencoba mengumpat dibalik helmnya padahal aku memakai masker sehingga yang terlihat hanyalah kedua mataku saja. Tapi dia sangat tau bahwa aku tak suka di pandangi. Untungnya spion kirinya tidak ada. Kalau sampai ada pastilah kedua spionnya di arahkan ke aku seperti yang sudah-sudah dia lakukan. Sehingga aku harus menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.  Sedikit menjengkelkan.

Sesampainya ditempat makan, aku turun sedang dia sibuk memarkirkan cb-nya. Aku sengaja tak langsung masuk ke dalam tempat itu saat ku baca nama café-nya dan membuatku malas sekali. Itu adalah tempat makan waktu dia jalan dengan gadis lain selain aku. Setelah dia putus aku pernah menyindirnya juga membandingkan tempat makan waktu bersama aku dan bersama gadis lain. Ternyata dia membawaku kesini, ke tempat yang pernah aku cemburui.
“Kenapa harus kesini?” tanyaku sedikit malas.
“emang kenapa?” jawabnya.
“Jangan pura-pura gak tau, aku males jelasinnya”
“Iya apa?”
“Dia (aku menyebut nama gadis itu)”. Namun tak ku lanjutkan.
“dia siapa?” bertanya balik kepadaku.
“kamu ngajak dia kesini kan waktu itu?” sambil mulai untuk duduk.
“Oh, itu….eh pindah sini aja ya?” pintanya.
“Kenapa? Ini bangku waktu kamu duduk sama dia?” tanyaku sambil mengikuti langkahnya.
“Bukan, dulu mah disana” sambil menunjuk dekat pintu keluar.
“Terus kenapa pindah duduk disini?” tanyaku kembali.
“Aku kalo malem suka kesini duduknya disini” jawabnya.
(aku hanya menganggukan kepala dan tak mau membahas lebih lanjut)

Setelah memesan beberapa makanan, sambil menunggu pesanan datang dia seperti mencari-cari sesuatu di dalam tasnya dan dia mengeluarkan sebuah chargeran. Dia memberikan chargeran untukku, bulan lalu dia pernah menanyakan kenapa whatsapp-ku tak aktif dan ku beri tahu bahwa chargeran handphone-ku rusak yang mengharuskanku mencharge hp di kelas. Benar hanya bisa dikelas karna aku meminjam charge milik temanku. Beberapa menit kemudian pesanan kami datang, sambil makan kami menonton acara cctv, kebetulan tempat duduk yang dia pilih dekat dengan TV. Bersama dengan beberapa penjaga café disana kami tertawa terbahak-bahak karena menonton acara itu. Lucu sekali waktu itu, sampai akhirnya tawa kami terhenti ketika adzan maghrib berkumandang. Lalu kami mulai berkemas, menghabiskan semua makanan dan beranjak meninggalkan tempat itu. Kami singgah disebuah masjid, ini kali kedua aku shalat di masjid itu. Masjid yang tak jauh dari tempat kami makan, masih di daerah Rawamangun. Selain rindu dengan CB-nya, hal yang paling aku rindukan adalah moment seperti ini. Setiap kali sedang bersamanya walau cuma sekedar ke gramed ataupun makan diluar kami tak pernah ketinggalan untuk shalat bersama. Aku tak membenarkan bahwa yang ku lakukan dengannya benar walaupun untuk urusan agama sekalipun. Tapi ada satu yang membuatku sangat menyayanginya, kemanapun kami pergi kami selalu singgah di masjid-masjid untuk shalat bersama. Hampir semua tempat perbelanjaan (Mall) pernah kami kunjungi untuk shalat bersama. Aku juga pernah shalat di musholla pom bensin atau di beberapa masjid besar di Jakarta termasuk di masjid istiqlal. Aku tak mengatakan dia alim, tidak dia tak alim seperti para ikhwan. Tapi dia tau untuk urusan agamanya, jika ku bandingkan dengan kekasih teman-temanku belum ada yang seperti dia. Apa yang dia lakukan juga bukan untuk mencari simpati dariku seperti beberapa laki-laki lain yang sebelumnya pernah mendekatiku. Aku lama mengenalnya, dia memang disiplin untuk urusan shalat itu menjadi nilai plus bagiku. Aku juga pernah menunggunya shalat jumat di sebuah masjid daerah galaxy, aku selalu mengingatnya. Bahkan jika aku melewati beberapa masjid ingatan itu menguat sekali, aku sedih. Apa bisa moment seperti itu akau dapatkan lagi? dengan laki-laki selain dia?
Hal yang paling menyedihkan adalah mungkin saat itu menjadi saat terakhir bagi kami shalat di masjid yang sama. Berat sekali rasanya shalat di masjid yang sama tapi dengan keadaan aku dengannya tak lagi memiliki hubungan apa-apa selain mantan kekasih. Masjid yang dulu pernah kami kunjungi untuk shalat bersama kini kami kunjungi lagi untuk shalat bersama yang mungkin tak akan kami kunjungi lagi karna setelah ini kita tak akan bertemu kembali. Aku tahu, dan aku mencoba mengikhlaskan semuanya apapun kehendak Allah. Biar saja semua berjalan sesuai dengan rencana-Nya
Saat itu posisi shalat wanita lebih jauh dari pintu masuk, harus melewati shaf laki-laki. Waktu dia sedang wudhu aku jalan menuju tempat khusus wanita. Kemudian aku wudhu dan mengambil mukenah, ku lihat dia sudah lebih dulu shalat mengikuti imam yang sudah masuk raka’at kedua. Aku melihatnya dengan pandangan sedih dan menguatkan diriku bahwa keadaan apapun akan baik-baik saja. Terlebih ku lihat dia shalat diposisi yang tak jauh dari tempatku sehingga aku tak perlu susah mencarinya. Sambil membenarkan jilbab, ku liat dia dari kejauhan dengan punggungnya yang tegap membelakangiku dengan khusyu’, aku berbisik “Ya Tuhan, dia laki-laki yang aku mau”.
Selesai shalat ku pikir dia sudah menungguku di depan masjid karena tertutup batas hijab ternyata kemudian dia berdiri dari tempatnya saat aku sedang melipat mukenah, dia melihatku sebentar dan aku menoleh kepadanya. Dia berjalan keluar, segera aku merapikan jilbabku lagi dan menyusul langkahnya. Kami memakai sepatu tanpa saling bicara, biasanya saat memakai sepatu sehabis shalat kami selalu bercanda, tapi kali ini tidak. Aku tampaknya kaku, tapi biarlah karna aku tak tahu mesti bagaimana.
Kembali suara motor memecah hiruk pikuk kala senja di sekitar masjid itu. Tak jauh dari sana ada Terminal Rawamangun. Di motor dia bertanya,
“Mau kemana lagi?”
“Terserah”
“Emang kamu boleh pulang malem?”
“Engga, yauda aku pulang”
“Kamu ga boleh pulang malem kan?”
“Iya” jawabku singkat.
Selesai shalat maghrib kami langsung pulang.
Di jalan pulang dia cerita banyak, aku tak ingin membahasnya. Cukup berat bagi kami membahas hubungan ini. Yang paling ku ingat, ada pesan darinya membuatku bungkam dan tak tahu harus bicara apalagi.
“Aku mau kamu belajar sabar, biar kamu selesai kuliahnya dulu. Biar aja begini, ga ada kata putus dari kamu.  Aku gak mau banyak berharap, kalau keluarga kamu nanti tetep ga nerima aku, apa kamu mau bantu aku??? Engga kan? kalau kamu tanya aku masih sayang apa engga, nanti kamu juga bakal tau.”


Seketika mulutku kaku, bagaimana bisa orang yang begitu aku suka tak diterima dikeluargaku. Dan itulah kenyataanya, hubungan yang serius yang pernah kami coba bangun tiba-tiba patah ditengah jalan tanpa sempat mendapat restu. Itu kenapa, aku memutuskannya. Berat, aku tak bisa berpihak kepadanya bukan berarti aku tak sayang. Tapi kali ini aku mencoba berpihak pada logika, sekalipun aku salah aku yakin pasti akan ada jalan untuk dia kembali pada waktunya. Kalaupun ia tak kembali, ya sudah ternyata logikaku benar adanya. 

Bekasi, 31 Oktober 2015

Comments

Popular posts from this blog

Menulis Kembali

Menyayangimu :)