Penghujung 2015
Penghujung 2015.
Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan menurutku.
4 hari berlalu setelah tulisanku dilembar sebelumnya. Kira
kira seperti ini bunyinya.
“Tuhan aku tak minta dipermudah, kuatkan aku, bahagiakan aku.
Segera!”
Begitulah ku tulis pada sebuah buku berukuran sedang dengan
cover hitam, bertuliskan with love, July.
****
Bandung, 23 Desember 2015.
“Yah a warna goldnya beneran gak ada nih? Tanyaku kepada
salah satu penjual elektronik di BEC.
“nggak ada teh, yang gold limited. Tinggal yang putih sama
warna hitam”.
“Ada lagi kapan ya? Tanyaku kembali.
“Kurang tau teh, di Bandung stocknya udah habis dari minggu
kemarin. Coba aja teteh keliling dulu, di BEC udah gak ada stocknya”. Jawabnya
“masa sih?” aku menoleh teman temanku.
“Yauda deh a makasih ya”. Segera aku membawa temanku sedikit
menjauhi tempat itu.
“Eh kalian masih mau temenin gue nyari kan?” sambil nyengir.
“iya kita cari sampe dapet” jawab mereka dengan semangat.
Hampir satu jam kami keliling BEC ternyata memang benar
stocknya habis untuk yang berwarna gold. Dalam pesimisku, mereka segera
mengajak ku mencari di pusat pertokoan elektronik lain di daerah Dago. Tak jauh
dari icon Bandung bertuliskan Dago, ada sebuah toko elektronik yang cukup
besar. Kami bertiga memasuki toko itu, ku lihat jam menunjukan pukul 21:30
malam. Beberapa toko dilantai dasar sudah mulai sepi. Kami bertiga diarahkan
menuju lantai 3 menaiki lift oleh seorang wanita dengan rambut sebahu, dia
adalah karyawan penjaga toko itu. Aku menunggu kurang lebih 5 menit disebuah
meja panjang, sedang temanku yang lain berkeliling melihat beberapa kamera dan
elektronik lainnya yang terlihat luar biasa di dalam etalase kaca besar, besar
sekali. Setelah menunggu beberapa menit, ternyata apa yang aku cari tidak juga
ada ditoko itu. Aku sedikit sedih, dan bagaimana kalau memang warna goldnya
benar benar sudah habis. "Yah" gerutu ku dalam hati.
“yaudah lal, lu langsung cepet cepet ke Jakarta. Besok tuh
langsung kesana, pasti ada disana.”
“Iya sih, tapi sama siapa? Gue gatau angkutan umum ke Roxy.
Kalo dirumah biasa di anterin abang gue, terus besok hari kerja pasti abang gue
ga bisa nganter”.
Sambil berjalan pulang menuju lift dengan perasaan cemas dan
bingung.
Tiba tiba Hp ku berdering. Aku berhenti tepat didepan lift
yang sudah terbuka sambil menatap layar hp ku. Ha! Ada nama dia lagi muncul
dilayarku.
“Astagfirullah sumpah ya dia ngchat gue lagi nih,”
“Apa katanya?” balas mereka.
“Gue mesti gimana?
kebetulan banget lagi” sambil ku berikan hp itu ke temanku.
“Yaudah, bales aja. Iya lu pulang, tapi cuma ada yang mau
dibeli. Cepet bales, siapa tau dia nanti nawarin mau temenin lu. Kan lumayan.”
“Tapi gue gamau ketemu, takut kalo ketemu dia lagi. Bukan apa
apa, kalo gini mah bakal lama di gue. Padahal nomernya aja udah gue delete”.
“Buat sekali ini aja daripada lu kehabisan yang gold”. Balas
temanku yang lainnya.
Kemudian aku membalas seperti yang diperintahkan teman
temanku. Aku membalas seperlunya, yang ku ingat waktu itu dia menyuruhku segera
pulang ke kosan karena malam semakin larut dan tak perlu lagi mencari di
Bandung, biar cari di Jakarta saja bersamanya esok hari.
Jakarta, 24 Desember 2015
Pagi itu langit Bandung cukup cerah. Aku sudah merapihkan
beberapa stel baju untuk ku bawa pulang. Tak banyak yang ku bawa, hanya satu
tas ransel saja. Sengaja aku tak membawa laptop karena aku akan kembali lagi ke
Bandung secepatnya.
Aku berangkat pukul 9 pagi dari Bandung menuju tempat travel.
Tak ku sangka tenyata aku kehabisan tiket. Hari itu semua tiket arah Bekasi
Jakarta sudah ludes terjual. Aku masuk dalam waiting list, menunggu barangkali
ada penumpang yang tak jadi berangkat. Lama menunggu sampai pukul 1 siang,
akhirnya dari pihak travel mengadakan kendaraan tambahan bus pariwasata
miliknya tujuan Sarinah yang ada di kawasan Jakarta. Disana cerita pertemuanku
kali kedua dimulai.
Ku lihat jalan ibukota yang padat dari dalam bus. Hingar
bingar ibukota masih terasa sama rasanya. Sama saat terakhir kali aku
menikmatinya pada bulan bulan lalu. Sore itu, Bus ku melewati bundaran HI, itu
pertanda sebentar lagi akan sampai tempat tujuan. Aku merapihkan headset dan
mengecilkan volume laguku tak lupa juga aku merapikan jilbabku yang mungkin
agak sedikit kusut sepanjang perjalanan hari itu. Sesampainya di Sarinah, bus
yang ku tumpangi berjalan semakin lebih lambat dan berhenti tepat di sebuah
banner bertulisan "Baraya Travel".
Penumpang satu persatu mulai turun, aku masih duduk ditempat
semula dan membiarkan penumpang lain turun lebih dulu. Hingga yang tersisa aku
seorang, aku pun berdiri menarik ranselku. Berjalan pelan dan menyiapkan diriku
agar aku tak gugup melihatnya. Ku lihat dia, sosok yang selalu ku abaikan
dengan terpaksa kini tampak dihadapanku. Tatap kita saling bertemu, senyum
tipisku menyapanya. Dia memberikan helm kepadaku. Helm vespa dengan tulisan
“Ini SNI kok pak” menggunakan tinta spidol. Aku nyaris tertawa namun segera ku
tahan dan langsung menaiki CB100 miliknya.
Aku lupa waktu itu ada di daerah apa, tapi kalo tidak salah
di perempatan lampu merah Daan Mogot (kalau tidak salah yah, karena sebenarnya
aku tak begitu afal jalan di Jakarta). Lampu merah itu cukup ramai, beberapa
mobil lebih mendominasi. Saat dia sedang bercanda sambil menunggu lampu hijau
menyala, ternyata motornya mati. Awalnya ku pikir waktu itu dia bercanda, tapi
sampai lampu merah berubah kuning lalu hijau, motornya masih mati. Aku coba turun
dan dia masih berusaha menyalakan motornya. Ternyata motor itu benar mati,
sambil tertawa dia bilang "yah bensinnya habis hehe".
"Haa? serius?" balasku.
Aku berjalan disampingnya, sambil dia menuntun motor cbnya.
Kami menepi sebentar dari tengah keramaian sore itu. Dia mencoba membuka tanki
bensin dan aku dengan segera menanyakan orang sekitar yang menjual bensin
eceran, yang mungkin bisa membantu untuk sementara. Sebenarnya waktu itu aku
sedikit canggung karena hampir semua orang melirik ke arah kami, atau mungkin
ke arah CB miliknya. Di jalan, ada kerumunan anak jalanan dengan tampilan macam
anak 'punk' mereka mencoba menghampiri kami. Salah satu dari mereka menanyakan
tentang masalah motor dan disana juga ada seorang bapak separuh baya
memberitahu pom bensin yang tak begitu jauh dari tempat kami. Kemudian kami berjalan mengikuti arah yang
dimaksud beliau. Setelah mengisi bensin kami melanjutkan perjalanan kembali
menuju Roxy Jakarta.
"Kamu udah shalat belum?"
"Belum"
"Yauda shalat dulu ya?"
"Iya" jawabku.
sempat menanyakan kepada satpam mushalla terdekat yang ada
disana, sebelum masuk ke Roxy aku diantar untuk shalat di mushalla tak jauh
dari parkiran. Kami berjalan melewati beberapa ruko. Aku berjalan lebih dulu
tanpa melihat ke arahnya, dia berjalan di belakangku. Tak lama dia menyusul
langkah ku, dan kami berjalan bersebelahan.
"Ko makin pendek aja sih". Sambil memenggang atas
kepalaku.
Ku singkirkan tangannya dari kepalaku "Segini tinggi
tau" balasku sambil melirik ke arahnya dengan kesal tapi dia hanya
tertawa.
Sampai disana aku membuka sepatu di dekat pintu musholla
sambil berdiri. Waktu itu tas ransel ku hanya ku pakai sebelah, dan tiba tiba
dia membantuku melepas ransel lalu ransel itu dia pakai tanpa mengucap apapun.
Ku lihat dia dengan tingkahnya yang cuek namun tetap peduli.
Musholla disana ukurannya kecil dan waktu aku wudhu keran
airnya juga mati. Aku bilang kepadanya, lalu dia mencoba mengutak atik tombol
sumur dekat sana, setelah menyala aku melanjutkan wudhu. Dia duduk di depan
mushalla dengan tetap memakai ransel ku. Kebetulan waktu itu dia sudah shalat
di kantornya sebelum menjemputku di Sarinah.
Selesai shalat...
"Duduk dulu ya"
aku diam sambil memakai sepatu.
"Celana digituin biar apa?" susulnya.
Saat itu aku memakai celana denim buatan Yogyakarta. Kota
yang katanya penuh kenangan.
aku tak menjawab pertanyaannya.
Dijalan pulang dia menanyakan kenapa aku belum lulus. Dia
juga menawarkan "Mau makan dimana? tapi nanggung udah maghrib. Shalat dulu
ya, shalatnya mau dimana?"
didekat situ kebetulan ada pom bensin besar dan lengkap. Kami
mampir untuk shalat maghrib, aku melepas helm dan menuju dalam musholla. Aku
duduk sebentar didalam musholla sedangkan dia sudah lebih dulu mengambil wudhu.
Ketika adzan tiba, aku berjalan menuju tempat wudhu. Ku lihat dia yang belum
beranjak, ku dahului mengambil wudhu dan berlalu meninggalkannya. Di dalam
musholla aku memakai mukenah tanpa diburu waktu. Tak lama ada dia berdiri di
depanku merapihkan dirinya, dan menoleh sesaat. Melihatku dan hanya ku balas
dengan tatap. Kembali dia menoleh kebelakang dan seolah memberi isyarat
kepadaku untuk menjadi makmumnya. Kebetulan waktu itu hanya ada aku dan dia,
belum banyak yang datang. Aku menganggukan kepala, suaranya menggema
melafadzkan takbir dan bacaan shalat.
Selesai shalat aku berdoa, entah doa apa yang ku panjatkan
aku lupa tapi yang jelas aku berdoa untuk kebaikan dan kebahagiaan kita berdua.
Aku tak kuasa menikmati masa bahagia karena aku menjadi makmumnya pada hari
itu, sungguh terlalu amat ku rindukan. Selesai berdoa ku lihat jama'ah lain
yang ternyata ikut menjadi makmum dan hanya aku perempuannya selebihnya hanya
ada bapak bapak Seperti biasa aku merapihkan mukena dan jilbabku. Dia sudah
menungguku diluar, terduduk sambil melihatku. Kemudian kami makan di daerah
dekat Mangga Dua.
"kamu tunggu sini bentar ya"
"mau kemana?" kataku.
"bentar pokoknya tunggu sini"
ku lihat dia membeli rokok.
selesai makan aku mengbrol dan banyak bercanda kali itu.
Dia merokok di depanku. Ku tatap dia dan dia mematikan
rokoknya sambil tersenyum. Dia berhenti merokok tapi mungkin cuma didepanku.
Aku hanya mengingatkan dia untuk mengurangi merokok, karna sudah jelas tidak
baik untuk kesehatannya. Dia masih saja selalu membuatku jengkel dan usil
sekali. Waktu dia bercanda masalah rokok, aku mengambil 1 bungkus rokok yang
baru dibelinya tadi dan aku mematahkan semua rokok itu. Sebelumnya dia mengemis
agar aku tidak melakukannya, aku tertawa geli sekali melihatnya tanpa kasihan.
Selesai makan dan mengbrol akhirnya aku pulang. Kami melewati
bundaran HI lagi, aku melihat kantornya. Gedung megah dan besar sekali, seperti
Jakarta memang miliknya. Tak jauh dari bundaran HI ada tikungan, dan ini
pengalaman pertama kalinya yang aku rasakan.
Bergaya bak pembalap pada tikungan itu malah buat motor
bagian bawahnya patah karena terlalu menempel dengan aspal. Motor itu untuk
kedua kalinya tak bisa jalan, bukan lagi karena mogok. Aku sampai tak mengerti,
bunyi patahan itu sangat kuat sampai terdengar oleh orang orang yang sedang menunggu
bis di halte. Kemudian motor itu berhenti, sekali lagi ia mencoba
memperbaikinya tapi tak berhasil kemudian ia menelpon salah satu temannya
sesama pengguna cb. Ia meminta beberapa alat motor dibawakannya. Sekitar
setengah jam lebih temannya datang bersama motor cbnya, kami bersalaman
dilanjutkan mereka memperbaiki motor itu sambil memesan kopi. Malam itu trotoar
dekat halte cukup ramai oleh pedagangan kopi keliling, aku dipesankannya
nutrisari dingin sambil melihat mereka memperbaiki cb dari tempat duduk halte.
Bangku halte yang kosong, dan jalanan hanya disinari lampu. Waktu itu jam
menunjukan pukul sembilan malam, aku mulai resah.
Aku tahu pasti bahwa
motor itu perlu ke bengkel. Sebelum ke bengkel dia sempat mencari sesuatu
meninggalkanku bersama temannya sebentar. Tanpa sungkan aku memulai pembicaraan
dengan temannya.
"Temen motornya ya?" tanyaku.
"Iya satu bengkel sama dia, saya juga kebetulan adik
kelasnya dulu di STM"
"Oh adik kelasnya, kirain temen seangkatan"
Comments